Sabtu, 11 Mei 2013

Feature



SUKSESNYA SI ANAK ENGKRAK
Muhammad Rikza Chamami, seorang Dosen di salah satu Insitut Islam Negeri di Semarang ini masuk kelas dengan senyuman yang terpancar dari wajahnya. Seperti dosen-dosen lainnya, ia datang ke kampus pagi-pagi sekali. Pria yang akrab dipanggil dengan Rikza ini datang ke kampus dengan penampilan yang rapi, berpeci dan sederhana. Dosen yang lahir pada hari kamis kliwon, 20 Maret 1980 ini sekarang juga dikenal sebagai Sekretaris Laboratorium Pendidikan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Menjadi orang yang sukses merupakan impian Rikza sejak kecil. Ia berusaha semampunya untuk mewujudkan impiannya tersebut. Tanpa kenal lelah ia terus belajar dan belajar. Dengan semangatnya yang tinggi, ketekunan serta kedisiplinan akhirnya Rikza dapat mewujudkan impiannya menjadi seorang dosen.
Namun dibalik kesuksesan yang sudah diraihnya sekarang itu, ada kenangan masa lalu yang tak pernah ia lupakan. Pria bertubuh mungil ini dilahirkan dari keluarga menengah ke bawah. Pembuat sandal imitasi, itulah pekerjaan orang tuanya. Ia dilahirkan di desa Krandon, Kudus, yang pada saat itu tradisi masyarakat sekitarnya masih memegang teguh tradisi kejawen. Salah satu tradisinya, ketika ada bayi yang lahir dihari yang sama dengan ibunya, maka bayi tersebut harus dibuang, tujuannya, agar anak tidak bertengkar dengan ibunya. Itulah yang dialami Rikza, hari lahirnya sama dengan hari lahir ibunya, kamis kliwon. Rikza dibuang orang tuanya di “Engkrak” yang akhirnya ditemukan oleh simbahnya, Saudah. Itulah kisah malang seorang Rikza kecil. Mengalami nasib seperti itu di masa kecilnya, tak menghalangi Rikza untuk tetap semangat menjalani hidup.
Semasa kecil ia sudah senang dengan ilmu, ilmu sangat penting baginya. Sejak kecil ia sering ikut tradisi-tradisi pedesaan secara cultural seperti ngaji ziarah,  termasuk juga silaturrahmi ke rumah Kyainya. Dolanan-dolanan pedesaan, seperti setinan, gobak sodor juga merupakan aktivitas Rikza semasa kecilnya. Salah satu hal yang tidak pernah terlupakan juga oleh Rikza, orang tua yang mendidik anaknya dengan prinsip tirakat, tepo seliro artinya tidak boleh hidup mewah harus sederhana. Itulah yang sampai sekarang pun masih dipegang teguh oleh seorang Rikza chamami walaupun sudah meraih kesuksesannya.
Miskin baginya bukan berarti tidak bisa apa-apa. “Karena miskin, prinsip saya sejak kecil “miskin boleh, sukses harus!”, kemiskinan bukan halangan untuk sukses”, ungkapnya. Itulah lika-liku kehidupan seorang Rikza, si anak engkrak yang malang tetapi berhasil meraih kesuksesan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar